Cari Blog Ini

Selasa, 08 Agustus 2017

Tawakkal Ilallah Is a Secret of Happiness


10 menit sudah aku duduk disini tanpa tau siapa yang sebenarnya ku nanti. Detak jantungku melaju lebih kencang saat kulihat jam tangan digitalku menunjuk angka 09.45. Hanya seberkas kertas yang kupegang inilah sebagai penunjuk bahwa aku akan bertemu penulisnya. Secarik surat yang membuatku bertanya-tanya semalaman. Selembar kertas bertinta hijau yang membuatku tidak bisa tidur tenang. Berkali-kali aku membuka dan membaca kembali isi surat singkat itu. 
"Assalamu’alaikum, ukhti.. Empat tahun sudah sejak pertemuan kita kala itu selalu menyisakan tanya. Sejak aku menatap kedua matamu aku merasakan keanehan yang tak mampu kujelaskan. Selamat atas kelulusannya. Surat ini sebagai awal niatan saya untuk bersilaturahmi denganmu, jika berkenan datanglah ke pengajian rutin mingguan di masjid Al Fath, usai pengajian temui saya di serambi masjid. Ajaklah seorang temanmu agar tidak menimbulkan fitnah."
“Dek, belum ada juga ya?” Tanya mbak Ria yang hari ini sengaja aku ajak kesini.
Kulihat kembali jam tanganku, pukul 10.00. “Belum, mbak. Kita tunggu sebentar lagi ya?”
“Oke” Jawabnya mang gut-manggut.
Pandanganku terus menatap ke depan, tepat ketika ada seorang pemuda dengan kesabarannya berjalan menggunakan kursi rodanya ke arah kami. Dia seorang pemuda yang santun, tidak bisa kami pungkiri bahwa dia memang tampan. Tapi keadaan apa yang telah membawanya dalam kehidupan yang seperti ini? Memiliki kaki namun kakinya tak bernyawa.
”Pemuda itukah yang menuliskan surat ini?” Hatiku bertanya-tanya.
“Assalamu’alaikum..” Pemuda itu dengan ramah menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. “Maaf, sudah membuat kalian menunggu lama.” Lanjutnya kemudian.
“Wa’alaikumsalam..” Jawab aku dengan mbak Ria serentak. Aku masih terheran-heran. Benarkah lelaki ini yang ku tunggu? Benarkah lelaki ini yang telah menulis selembar surat yang kini kupegang? Lantas siapakah pemuda yang ada di depanku ini? Sekalipun tak pernah kuingat bahwa aku pernah mengenalnya.
Seperti mengetahui kebingungan kami, pemuda itupun langsung memperkenalkan diri. “Nama saya Fahmi, Fahmi Abdul Hanan. Mungkin ukhti belum pernah mengenal saya. Tapi sebelumnya saya minta maaf, saya mengenal ukhti 4 tahun lalu di TPA Ar-Rahman. Saat saya mampir untuk menunaikan ibadah shalat ‘Asyar usai menjajakan buku-buku saya. Selalu saya ingat kala itu, ketika ukhti menghampiri saya untuk menyampaikan sesungging senyuman sebelum kita sama-sama melangkahkan kaki memasuki masjid. Saya mengetahui nama dan alamat ukhti dari salah seorang santriwati yang ada disana. Saya punya nomer handphonemu, tapi sejak saya tau bahwa ukhti masih SMP saya belum berani mengganggu. Ternyata sampai saat ini hati saya masih tetap terjaga, maka saya beranikan diri untuk menemuimu.”
Aku terkejut dengan apa yang barusan dikatakan olehnya. Dengan sopan tanpa keraguan sedikitpun ia mengatakan apa yang selama ini dipendamnya.
“Kenapa tidak dari dulu antum mengatakannya?” Tanyaku dengan sedikit gemetar, seketika rasa dingin menjalar di seluruh tubuhku.
“Aku takut, ti. Dari pertemuan pertama sudah kusisakan rasa kagum. Jika pertemuan dan perkenalan itu berlanjut, hanya akan menyisakan rasa rindu. Dan aku tidak menginginkannya, sungguh saat itu aku tak ingin merindu. Dari pertemuan ini saya tidak menginginkan banyak hal selain hanya untuk silaturahmi. Jadi maafkan saya apabila ada kata-kata yang mengusikmu.”
Obrolan kami terus berlanjut, dari hal-hal yang sederhana hingga yang mengesankan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menanyakan tentang keadaan kakinya.
”Maaf, kalau boleh saya tau apa yang telah membuat kaki antum cidera hingga harus menggunakan kursi roda?”
Dia tersenyum seperti tidak ada beban yang ia tanggung dengan keadaan kakinya yang seperti itu. “Dua tahun lalu ketika saya tengah menjajakan buku, ada sebuah mobil yang menyerempet motor saya. Pengemudi langsung melarikan diri dan tidak mau bertanggungjawab atas keteledorannya. Dari kejadian itu Allah menguji saya untuk mengetahui kesabaran hamba-Nya. Saya hanya bisa ikhlas dan mengharap keajaiban dari Allah untuk kesembuhan saya. Pun tidak apa-apa jika tubuh saya tidak sempurna, asal saya masih memiliki hati yang sempurna. Saya juga tidak akan putus asa meski kaki saya tidak berfungsi asalkan hati saya masih berfungsi untuk mensyukuri segala keagungan-Nya. Hati yang bisa saya gunakan untuk merenungi kebesaran-Nya. Hidup tanpa sebuah kaki bukanlah suatu masalah besar, tapi hidup tanpa adanya Allah di hati kita itulah bencana yang paling menakutkan.”
Subhanallaaah.. Siapa yang tidak kagum melihat seorang pemuda dengan kepasrahannya selalu mengutamakan Allah diantara yang lainnya? “Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk antum, sehingga antum bisa kembali menjajakan buku-buku. Pasti sudah banyak pelanggan yang merindukan kedatangan antum.”
Mbak Ria yang sedari tadi asyik dengan ponselnya tiba-tiba menepuk bahuku. “Dek, itu bukannya Mas Alfi ya, kok dia ada disini?”
Mata kamipun bertemu, Mas Alfi yang berjalan tepat di depan kami sama sekali tidak tersenyum untuk menyapa kami. Aku sempat heran, biasanya Mas Alfi selalu menyapaku jika kami bertemu. “Kok dia diam aja sih, mbak? Padahal tadi dia melihatku lo, kayak kagak kenal aja sih!” Kataku sedikit emosi.
“Kalian mengenalnya? Dia selalu hadir di pengajian ini, kadang-kadang dia juga ikut ngisi materi atau pembaca ayat suci. Kalau boleh sedikit ngasih saran, kalian harus ingat hanya senyumanlah yang akan dibalas dengan senyuman. Dan hanya sapaan yang akan dibalas sapaan. Jangan pernah menunggu untuk disapa, tapi sapalah ia terlebih dahulu jika kamu ingin disapa. Tidak pernah ada salahnya ketika kita harus mengalahi untuk menyapa, justru disitulah Allah memberikan kesempatan bagi kita untuk ibadah dan memulai untuk bersedekah. Tidakkah kalian ingat sebuah pepatah tabassumuka fii wajhi akhiihi shodaqatun? Kemudian setiap sedekah pasti akan dibalas oleh Allah. Jagalah dirimu, jadikan Allah sebagai sandaran atas apa saja yang menimpamu. Hanya kepasrahan yang akan membawa diri kita pada sebuah kebahagiaan yang haqiqi. Saya harus pamitan, semoga kita bisa bertemu lain waktu. Assalamu’alaikum..”
Pemuda itu berlalu meninggalkanku dengan Mbak Ria yang masih termenung merenungi ucapannya. Tutur katanya yang lembut dan mudah dicerna membuat orang yang mendengarnya merasa kagum. Benar apa yang dikatakan olehnya, hanya senyuman yang akan dibalas senyuman dan hanya kepasrahan yang akan membawa kita pada kebahagiaan. Kebahagiaan haqiqi dari Allah untuk hamba-Nya yang sabar dan ikhlas meletakkan segenap doa dan ikhtiarnya hanya atas nama ALLAH. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar